Jumat, 03 Januari 2020

Prof Ayu Sutarto yang (Tak) Kukenal | Sebuah Obituari

Kabid Dikdas

Prof Ayu Sutarto yang (Tak) Kukenal | Sebuah Obituari

Mungkin tulisan ini tak layak disebut Obituari, atau saya sendiri yang tak pantas untuk menulis obituari tokoh sebesar Profesor Ayu Sutarto yang meninggal dunia pada Selasa, (1 Maret 2016). Pertama kali saya mengetahui berita kematian tersebut dari facebook. Akun Gress Publishing memosting foto Prof Ayu yang sedang membaca buku dengan catatan yang menarik: Yang lepas kembali # yang tinggal abadi. Sebelum tulisan itu akun tersebut mengucapkan selamat jalan.

Judul tulisan ini sengaja ditulis (tak) karena memang saya tidak mengenal Guru Besar ini secara personal. Seingat saya, saya hanya pernah bertatap muka langsung dengan beliau hanya sekali, yaitu ketika beliau menaiki tangga gedung dekanat FKIP Universitas Jember. Sebagai mahasiswa yang (merasa) punya unggah-ungguh saya menyapa dengan tersenyum dan sedikit membungkukkan badan, beliau seperti biasa yang sering saya lihat dari kejauhan membalas tersenyum. Senyum yang lepas tidak dibuat-buat.

 Mungkin tulisan ini tak layak disebut Obituari Prof Ayu Sutarto yang (Tak) Kukenal | Sebuah Obituari
Selebihnya saya sering melihat beliau dari foto di koran, di internet, facebook, dan lain sebagainya. Saya juga sering menyerap pemikiran-pemikiran Prof Ayu (begitu biasanya teman-teman menyebutnya) dari tulisan dan ceramah ilmiahnya dalam beberapa forum. Salah satu yang saya ingat adalah ketika beliau menjadi narasumber di salah satu televisi regional Jawa Timur, beliau menjelaskan tentang keadaan budaya Tengger di kaki gunung Bromo, Jawa Timur. Hal itu (kebudayaan Tengger) memang menjadi fokus penelitiannya.

Meskipun berfokus pada Tengger, Prof Ayu juga mengamati budaya-budaya lain di kawasan timur Jawa Timur. Pernah juga dulu saya menghadiri acara yang di dalamnya juga ada Prof Ayu sebagai pembicara, acara tersebut sekaligus menjadi acara peluncuran bukunya yang tentang kamus bahasa Osing, yang diserahkan langsung kepada budayawan Banyuwangi yang juga hadir di Gedung Soetardjo, Universitas Jember.

Prof Ayu memang banyak berkarya, menulis buku tentang budaya dan sastra. Salah satu buku yang ditulis olehnya adalah tentang Warung Kopi (sampai sekarang saya masih belum berhasil mendapatkan buku ini). Katanya, buku ini memuat penelitian beliau tentang jenis-jenis warung kopi. Di antaranya adalah warung kopi yang menjual sensualitas dan seksualitas. Tetapi yang bisa besar dan bertahan adalah warung kopi komunitas. Begitu kesimpulan yang disampaikan beliau dalam pemaparan tentang isi buku tersebut.

Selaku budayawan, Prof Ayu dekat dengan berbagai kalangan. Tidak hanya sesama budayawan tetapi juga dengan tokoh-tokoh NU di Jember. Beliau juga menulis buku Indonesia di Mata Seorang Kiai NU. Buah tulisan yang didasarkan pada pemikiran-pemikran Kiai Muchit Muzadi tokoh besar PBNU yang bermukim di Jember. Mungkin beliau berdua (Mbah Muchit dan Prof Ayu) sekarang lagi berdiskusi lagi tentang Indonesia. 

Tidak hanya dekat dengan tokoh-tokoh besar. Prof Ayu juga dekat dengan siapa saja, yang mau berkunjung ke rumahnya, begitu penuturan teman-teman saya yang melakukan penelitian skripsi tentang budaya. Mulai dari mas Badrus Sholihin alias Midun Aliassyah hingga ke Yuristika yang meneliti Tradisi Lisan Madura. Mereka berdua mengumpulkan bahan hingga berdiskusi dengan Prof Ayu di Kediaman yang sekaligus dijadikan perpustakaan di Jalan Sumatera, Jember. Padahal kedua anak tersebut adalah mahasiswa FKIP Bahasa Indonesia, tidak pernah diajar Prof Ayu yang menjadi dosen di Fakultas Sastra Unej. Tak sedikit pula anak-anak lain yang berkunjung kesana, katanya sih begitu.

Satu lagi pemikiran beliau yang masih saya ingat, waktu itu saya baca tulisan beliau di koran Radar Jember. Beliau memiliki kekhawatiran akan eksistensi bahasa daerah. Salah satunya adalah anak-anaknya sendiri yang mulai meninggalkan bahasa daerah dan lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia bahkan sampai dalam pergaulan sehari-hari. Yang membuatnya lebih khawatir, bahkan sekarang bahasa Indonesia yang banyak diketahui bukan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa ragam gaul yang tak jelas ujungnya.

Selamat jalan Prof, semoga tidak ada yang berduka cita. Karena kematian sebenarnya adalah awal. Semoga kelak bisa berjumpa lagi dan bisa kembali menikmati paparan Prof Ayu tentang banyak hal yang sederhana tapi menarik.

Lahu Alfatihah.